1.       SYEKH MAULANA ISHAK
Di
 awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu,
 salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja
 dan rakyatnya memeluk agam Hindu dan sebagian ada yang memeluk agama 
Budha.

Pada
 suatu hari Parbu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya 
pasalnya puteri mereka satu-satunya jatuh selama beberapa bulan. Sudah 
diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang puteri
 belum sembuh juga.
Memang
 pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit. 
Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah jawa esok 
sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka dan hampir
 semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas
 saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang 
dapat menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat 
mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau 
Raja Muda. Sayembara disebar hampir keseluruh pelosok  negeri. Tapi 
sudah berbulan-bulan tidak juga ada yang dapat memenangkan sayembara 
tersebut.
Permaisuri
 makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya 
dengan menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari pertapa sakti guna 
mengobati penyakit puterinya.
Diiringi
 beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan 
tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal dipuncak lereng-lereng gunung, 
maka kesanalah tujuan Patih Bajul Sengara.
Patih
 Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui 
adanya tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah 
Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi 
dinegeri Blambangan.
Patih
 Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang 
bertafakkur disebuah goa. Syekh Maulana Ishak mau mengobati puteri Prabu
 Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama Islam. 
Syekh Maulana Ishak memang piawai dibidang ilmu kedokteran, puteri Dewi 
Sekar Dadu sembuh sekali diobati. Wabah penyakit juga lenyap dari 
wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak 
dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan sebagai 
Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
2.       Hasutan Sang Patih
Tujuh
 bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan, 
makin hari semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang memeluk 
agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya 
mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu 
Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
Patih
 Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe 
pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang
 dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada 
agama lama. 
Pada
 saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak 
sadar bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya 
tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka
 dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan Blambangan.
Akhirnya,
 pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan 
isteri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat 
meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar 
prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk 
wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Dua
 bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok 
rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa 
senagn dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan 
itu. Bayi itu lain daripada yag lain, wajahnya mengeluarkan cahaya 
terang.
Lain
 halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat 
limpahan kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu 
dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah 
penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju Sengara 
berulah lagi..
Bayi
 itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan 
dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal 
diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa 
bayi itu! Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang
 Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia 
terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada 
bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya 
sang Prabu terpengaruh juga.
Walau
 demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu 
secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan 
kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samudera.
3.       Joko Samudra
Pada
 suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. 
Ketika perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi 
keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak 
bisa.
Nahkota
 memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, 
meungkinkah perahunya membentur karang. Setelah diperiksa ternyata 
perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik 
kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nahkoda 
memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut karena didalamnya
 terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda 
merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk
 orang yang tidak berprikemanusiaan.
Nahkoda
 kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau 
Bali. Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan 
digerakkan  kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Dihadapan
 Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil
 membuka peti itu. Peti inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik 
dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau 
Bali, kata sang nahkoda.
Bayi…? Bayi siapa ini ? gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Kami menemukannya di tengah samudera selat Bali, jawab nahkoda kapal.
Bayi
 ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil 
sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. 
Karena bayi ini ditemukan di tengah smudera  maka Nyai Ageng Pinatih 
kemudian memberinya nama Joko Samudra.
Ketika
 berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk 
berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut 
beberapa sumber mula pertama  Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya
 dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar 
anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi 
dalam mempelajari agama Islam.
Pada
 suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu 
guna melaksanakan sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan mendoakan umat
 agar selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat 
menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba
 Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang 
santrinya. Selama beberpa saat beliau tertegun, sinar terang itu 
menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar
 itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan Ampel.
Saya Kanjeng Sunan…..ujar Joko Samudra.
Melihat
 yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin 
bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu 
Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra, kesempatan itu 
digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko 
Samudra.
Nyai
 Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan 
ditengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk 
membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi dirumah Nyai 
Ageng Pinatih.
Teringat
 pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka 
Sunan Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu 
diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata 
Sunan Ampel, dia percaya penuh  kepada wali besar yang dihormati 
masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.
4.       Raden Paku
Sewaktu
 mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat 
dengan putera Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya 
bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah
 berusia 16 tahu, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu 
pengetahuan yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan 
pengetahuan.
Di
 negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada 
ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung yang
 nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah 
ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para 
santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak 
bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.
Pesan
 itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu 
sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan 
bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah
 melihat anaknya sejak bayi.
Raden
 Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah
 samudera dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan 
berguru pada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya
 Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat 
berdakwah di Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan isteri yang 
sangat dicintainya.
Raden
 Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan 
dirinya yang disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi 
memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah
 ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di
 negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan 
membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak 
disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda 
itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri 
maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada
 yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu 
yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah 
tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari 
ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di 
negeri Pasai.
Ilmu
 yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam
 perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu 
tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama yang berusia 
lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh 
Maulana Ainul Yaqin.
Setelah
 tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah 
dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan 
kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan 
kain putih berisi tanah.
Kelak,
 bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang 
sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun 
pesantren, demikianlah pesan anahnya.
Kedua
 pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala 
pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum 
Ibrahim  berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku diperintah pulang ke 
Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
5.       Membersihkan Diri
Pada
 usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang 
dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan 
senang hati. Nahkoda kapal diserahkan  kepada pelaut kawakan yaitu Abu 
Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai 
Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan
 dagangan di Pulau Banjar.
Tiga
 buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan.
 Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu 
Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang 
sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. 
Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi 
kali tidak, sesudah kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden paku 
membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis kepada 
penduduk setempat.
Tentu
 saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes 
tindakan Raden Paku, Raden….kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng 
Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma? 
Jangan
 kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk 
Banjar saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan 
kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan 
dari mereka, sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat 
kepada mereka? Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan
 zakat untuk membersihkan diri.
Itu
 diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak 
memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng 
dihantam gelombang dan badai?
Raden
 Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis 
biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang 
dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan
 pulau Banjar akan dibeli.
Paman
 tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak 
oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
Memang
 benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan 
selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan 
meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal.
Sebaiknya ibu lihat dulu pinta Raden Paku.
Sudah, jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja hardik Nyai Ageng Pinatih.
Tapi
 ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. 
Karung-karung itu isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa 
mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar , kain dan emas serta 
intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang 
disedekahkan kepada penduduk Banjar.
6.       Perkawinan Raden Paku
Al-kisah
 ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia 
mempunyai sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya. Setiap kali 
ada orang yang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti 
mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah 
orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja 
lewat didepan pekarangan  Ki Ageng Supa Bungkul. Begitu ia berjalan 
dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala Raden 
Paku.
Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah.
Memang,
 Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat 
memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan 
puterinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal 
itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
Tak
 usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin
 Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu menjadi 
niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu. 
Demikian kata Sunan Ampel.
Tapi…….bukankah saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah ujar Raden Paku.
Tidak
 mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi
 Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi 
Wardah.
Itulah
 liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. 
Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkuk 
seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik 
di Surabaya.
Sesudah
 berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar 
pulau. Sambil berlayar  itu beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk 
setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan nusantara.
Lama-lama
 kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin 
berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok 
pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia 
perdagangan.
Nyai
 Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya 
yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya 
tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai 
Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan 
perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang 
hendak mendirikan pesantren.
Mulailah
 Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak 
keluar goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur
 itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai
 bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar 
di negeri Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya mirip
 dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui
 desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya 
sejuk, hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya 
dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti
 itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah 
dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam 
bahasa sansekerta artinya gunung.
Atas
 dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan 
ampel, tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri 
sudah terkenal ke seluruh nusantara.
Menurut
 Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke 
negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan
 diatas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling 
terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas gunung tersebut 
seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri 
Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala 
penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu dan Ternate. 
Demikian menurut De Graaf.
Menurut
 babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir 
diseluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina 
dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai 
ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping 
pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah 
dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh 
beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar
 bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk 
dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri 
masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber
 air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu 
melakukannya.
7.       Peresmian Mesjid Demak
Dalam
 peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan 
pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang 
beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul
 Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar 
manusia haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika
 sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka 
pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul 
boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan 
agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan 
Sholat jamaah Jum’at.
Sunan
 Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. 
Sebelum Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga 
gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip 
karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan
 Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran
 tidak bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui 
wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan
 bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena
 itu Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. 
Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang 
Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah sunan Giri yang menata.
Maka
 perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu 
akan diawali dengan  sholat jum’at kemudian diteruskan dengan 
pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga.
8.       Jasa-jasa Sunan Giri
Jasa yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jaw bahkan ke nusantara.
Beliau
 pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang
 wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan 
meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan 
demikian sunan Giri ikut  menghambat tersebarnya aliran yang 
bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah.
Keteguhannya
 dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak 
positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah 
Islam sesuai ajaran Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama.
Di
 dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama
 kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan 
tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: 
jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan  :
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang gilar-gilar,
Nundhung begog hangetikar.”
(malam
 terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil 
dihalaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang 
lari terbirit-birit)
Maksud dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama
 Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, 
dimuka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang 
lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
9.       Para Pengganti Sunan Giri
Sunan
 Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri 
kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar 
Prabu Satmata.
Pengaruh
 Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di 
luar jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang
 hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan 
Giri.
Giri
 Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan 
Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
1.       Sunan Dalem
2.       Sunan Sedomargi
3.       Sunan Giri Prapen
4.       Sunan Kawis Guwa
5.       Panembahan Ageng Giri
6.       Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7.       Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
8.       Pengeran Singosari
Pangeran
 Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan 
Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah
 pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri 
Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali 
terkemuka tetap abadi sepanjang masa.
 
No comments:
Post a Comment